Senin, 19 November 2012

Alam bagi Masyarakat Suku Amungme di Papua

Menurut Tom Beanal dalam bukunya yang berjudul Amungme (Magaborat Negel Jombei – Peibei), secara harafiah Amungme berasal dari dua kata yang memiliki makna berbeda, yaitu Amung, yang berarti utama/intisari/terlepas dari segala tambahan; dan Me artinya manusia. Jadi Amungme berarti manusia utama. Sementara wilayah Amungme disebut Amungsa. Berdasarkan latar belakang etimologis tersebut, maka manusia Amungme cenderung berpikir, bahwa ia adalah manusia utama di atas manusia yang lain.
Dari pengalaman hidup manusia Amungme disadari bahwa alam sekitarnya memberi manfaat yang besar bagi kehidupannya. Sebagai ungkapan pujian, syukur serta hormat kepada segala sesuatu yang terdapat di alam sekitarnya, maka orang Amungme melihat dengan penuh penghargaan terhadap setiap makhluk, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang tumbuh ataupun yang tidak. Adapun bentuk perwujudan ungkapan syukur atas kebaikan alam kepada manusia Amungme, adalah antara lain dengan mengadakan pesta kesuburan, pesta panen dan lain-lain. Hal tersebut menjadi latar belakang pikiran seorang Amungme, sehingga ia tidak sembarang merusak lingkungan hidupnya, sebab jika ia merusak lingkungan hidup, berarti ia merusak dirinya sendiri.
 Hal tersebut disebabkan oleh karena orang Amungme mengandaikan habitat hidupnya bagaikan tubuh seorang perempuan yang menceritakan ibu mereka. Untuk melihat bagaimana tingginya orang Amungme menghargai alam sekitarnya, ada ungkapan seorang bijaksana (Amaungka, Uamang) ketika memarahi anak-anaknya yang telah merusak alam sekitarnya dengan berkata demikian: “Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesim arop nap atendak, o arop nap atendak, ib arop nan atendak. Kela arop nap atendak iatong heno! Inak juo onen diamo!”. Yang artinya adalah “Anak-anak, mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, dan batu itu pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku akan mengawasimu!”
Dalam bukunya, Tom Beanal bahwa menjelaskan secara kosmologis, kawasan vertikal yang menjadi habitat mereka diibaratkan sebagai tubuh tegaknya seorang perempuan. Kawasan pegunungan dengan elevasi paling tinggi disamakan dengan bagian kepala seorang Ibu (Ninggok), ini termasuk puncak-puncak gunung tertinggi di kawasan teritori mereka, yaitu Puncak Cartenz, Ertsberg (Yel Segel Onggop Segel), Grassberg dan sebagainya. Karena merupakan bagian dari kepala Ibu, maka ini adalah kawasan sakral, artinya tidak boleh diganggu gugat.
Berikutnya adalah kawasan-kawasan perbukitan di bawah elevasi gunung-gunung tertinggi ini, yang disebut Menamorin. Bagi orang Amungme, zona ini adalah pusat kehidupan mereka, dimana mereka tinggal dan mencari nafkah. Ini digambarkan sebagai bagian antara leher sampai pusar seorang ibu, karena di sinilah anak dibesarkan dari air susu ibu dan dilahirkan dari rahim ibu. Sementara itu, kaki bukit dan hamparan dataran rendah ditandai dengan aliran sungai yang sudah tidak deras lagi, dan digambarkan sebagai bagian tubuh ibu dari pusar sampai betis. Kawasan ini disebut Onisa, yaitu merupakan daerah larangan dan pamali bagi suku Amungme, sesuai dengan daerah alat kelamin ibu.
Bagi orang Amungme, kesatuan seluruh ekosistem itulah yang menunjang kehidupan mereka. Jika ada salah satu ekosistem tidak bekerja dengan baik, maka kehidupannya akan terganggu. Kawasan dimana manusia tidak bisa hidup, yang ekosistemnya rapuh, seperti puncak-puncak gunung, dijadikan kawasan perlindungan dengan menjadikannya sebagai daerah keramat. Kawasan yang ramah untuk ditinggali dan dihuni serta cukup kaya dengan sumber daya alam untuk kehidupan mereka dijadikan sebagai kawasan ekonomi. Daerah dataran rendah, dimana mereka tidak terbiasa hidup dan menemukan banyak kesulitan dijadikan daerah penyangga antara kehidupan mereka dengan pihak luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar